Suatu harian nasional mengingatkan kita akan gawatnya situasi pendidikan kita. Sekitar 37,6% anak-anak kita memang bisa membaca namun tidak mengerti apa yang dibaca. Dari 41 negara, kemampuan anak-anak kita untuk membaca berada di tingkat 39. Toh kita membiarkan diri diracuni oleh pendapat, seakan-akan masalah terbesar UU Sisdiknas 2003 adalah soal pengajaran agama. Lalu seluruh bangsa disuruh percaya, bahwa karena semua setuju dengan urusan ps 21 ayat 1, lalu UU itu beres. Padahal masalah terbesarnya adalah etatisme dan kenyataan bahwa UU itu sama sekali tidak membawa pencerdasan. Sebab logika dan seluruh sistematika UU itu tidak beres.
Belum juga Presiden menandatangani UU Sisdiknas 2003, telah terwujud kekuatiran yang sering dikemukakan dalam pembicaraan tentang UU tersebut. Kalau pihak Panja selalu mengemukakan masalah pokoknya pada pasal 21 ayat 1a, maka publik kerap menunjukkan bahwa keberatan terpenting terhadap UU itu adalah ‘etatisme berlebih-lebihan’. Salah satu bahaya etatisme itu terletak pada banyaknya rencana Peraturan Pemerintah yang membayang. Naskah yang ditandatangani sidang kontroversial tanggal 11 Juni 2003 merencanakan 13 PP. Ternyata, sebelum PP secara resmi dibuat, rakyat sudah tahu bahwa Departemen Diknas sudah merencanakan banyak PP. Sebelum hal itu dilaksanakan saja, Diknas sudah membuat kejutan dengan menerbitkan naskah UU Sisdiknas yang berbeda dengan yang ditandatangani di DPR. Kemudian Anwar Arifin (yang sudah tidak mempunyai kewenangan apa pun untuk mewakili siapa pun dalam rangka UU Sisdiknas) menyatakan bahwa perbedaan itu hanyalah soal tehnis. Penjelasan itu tidak dapat diterima. Sebab teks Diknas tidak sesuai dengan satu pun naskah yang pernah dibicarakan dalam DPR. Maka tidak cukup penjelasan, seakan-akan naskah Diknas itu hanya keliru mengirim ‘file’ karena ‘salah disket’.
Banyak sekali ‘kekeliruan teks Diknas’ itu memang bagian dari perdebatan yang tempo hari dilancarkan. Maka, etatisme menjadi kenyataan, bahkan sebelum Presiden menandatangani.
Bahwa pada ps 1 butir 17 teks Diknas mengubah istilah Republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan, jelas merupakan pengubahan ideologi yang berkaitan dengan debat mengenai kemungkinan perpecahan negara, apabila UU ini disahkan dalam kondisi seperti sekarang ini.
Pasal 3 yang merupakan kompromi yang amat buruk dihidangkan oleh Diknas dengan menyisipkan kata ‘peserta didik’, sebab naskah DPR tidak jelas pokok kalimat atau sebutannya. Namun dengan demikian Diknas menambahkan satu ‘subyek’ yang dalam naskah DPR tidak ada dan memang diperdebatkan.
Pasal 19 diubah pengkalimatannya sehingga obyek dari anak kalimat berubah sama sekali. Itu pun bagian dari upaya Diknas untuk mengatasi kekurangan teks DPR.
Pasal 20 ditambahi ayat 3 yang tidak ada dalam naskah DPR. Dengan demikian Diknas telah menambahkan tugas pada Perguruan Tinggi, yang tidak dibicarakan oleh DPR.
Pada Pasal 25 naskah Diknas telah mengubah-ubah kalimat dalam ketiga ayatnya, padahal kita mengetahui, bahwa dalam DPR perubahan satu kalimat saja dapat berakibat panjang.
Pasal 28 ayat 6 naskah Diknas mengubah apa yang akan dibuatkan PP dan dengan demikian juga mengubah wewenang Departemen Diknas: suatu tanda etatisme bebas.
Pasal 30 menurut naskah Diknas kehilangan penjelasan yang mengubah seluruh isi pasal crucial ini. Pastilah ini bukan kesalahan teknis. Hal serupa terjadi dalam pasal 35, walau pada lapisan didik yang berlainan, namun justru mengenai tolok ukur mutu pendidikan kita.
Dalam naskah Diknas, ps 39 kehilangan dua ayat. Padahal kedua ayat itu justru mengenai masalah penting dalam pendidikan karena menyangkut guru. Ada kepentingan yang diabaikan oleh teks Diknas. Kalau hal itu dianggap kesalahan teknis, maka semakin jelas, betapa UU ini memang tidak pantas menjadi UU.
Teks Diknas mengenai ps 42 tidak menyertakan juga penjelasan untuk ayat 1. Padahal ayat itu berkaitan dengan mutu pengajar. Di sini menjadi jelas, betapa UU ini memang tidak peduli pada mutu pengajaran dan pencerdasan rakyat.
Pendidikan perlu difahami sebagai suatu usaha bersama dalam proses terpadu-terorganisasikan untuk membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan Sang Pencipta. Rumusan ini berbeda dengan UU ps 1 ayat 1 yang mempersulit kita memahami pasal-pasal yang berhubungan dengan pendidikan informal. Sebab dalam definisi di atas ditolak gagasan UU Sisdiknas yang mau menjadikan murid sekedar sebagai pion politik: semua ditentukan oleh Diknas.
Pusat perhatian dalam pendidikan seyogianya diberikan pada usaha untuk membagikan dan membangkitkan pengalaman nilai dalam hidup manusia secara keseluruhan, yang antara lain kelihatan dalam kemampuan orang mengembangkan intelektualitasnya. Dengan kata lain, perkembangan intelektualitas penting, walaupun diakui hanya merupakan salah satu dari bagian usaha pendidikan. Lebih jauh lagi, pengembangan intelektualitas di bidang ilmu positif tentulah hanya menjadi bagian kecil dari usaha pendidikan intelektualitas. Dengan demikian, tidak tepat juga gagasan sementara orang, seakan-akan UU ini mau memperjuangkan kecerdasan spiritual. Sebab dalam seluruh UU upaya itu tidak diberi penjelasan. Apalagi kita tahu, bahwa kecerdasan dalam pendidikan mencakup jauh lebih banyak, seperti misalnya kecerdasan simbolik, kecerdasan moral dsb, yang juga tidak disentuh-sentuh dalam UU ini. Memang Pendidikan merangkum keseluruhan pribadi manusia.
Andre Benoit, seorang sosiolog-pendidikan Belgia yang pernah bekerja di Jerman, Colombia dan Chili dapat menolong kita menjelaskan masalahnya lebih lanjut. Ia menegaskan pendidikan moral/suarahati secara sangat inspiratif.Gagasan tersebut sama sekali tidak mendapat tempat dalam UU Sisdiknas ini, yang lebih mengutamakan pendidikan dalam kerangka politik saja, sehingga juga tidak cermat dalam aspek-aspek didaktisnya. Gagasan Benoit lebih dekat dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara, yang menekankan pendidikan budi pekerti.
a. menurut Benoit, manusia mempunyai budi pekerti baik apabila ia menjunjung tinggi nilai-nilai dasar manusiawi. Adapun Nilai adalah sesuatu hal yang baik, yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia dalam hidup bersama. Nilai juga menjadi tolokukur yang memungkinkan manusia untuk mengevaluasi kebaikan dan mengambil tindakan manusiawi. Banyak pasal dalam UU Sisdiknas ini menggeser pengambilan keputusan dari individu dan keluarga menjadi keputusan negara. Negara dijadikan sumber nilai dan sumber hak serta sumber pendidikan.
b. UU ini mengabaikan proses pendidikan untuk membina moral, menyadari dan menginternalisasikan nilai serta membentuk maupun mengembangkan suara hati yang memang mengandung beberapa lapisan tugas:
1). Pertama: menjelaskan dengan bantuan argumentasi etis, mengapakah sesuatu hal (peristiwa, situasi, sikap) adalah hal baik yang diinginkan dan bagaimanakah hal itu menjadi bagian dari suatu sistem nilai yang serasi dengan konsep mendasar tentang manusia. Tak ada segi penajaman argumentasi etis dalam UU itu; dan para juru bicara Panja sama sekali tidak berhasil menunjukkan argumentasi yang memadai. Jalan pikiran yang diajukan hanyalah: pokoknya jangan kuatir, negara akan membereskan segalanya.
2). Kedua: Pendidikan semacam itu juga harus mampu menunjukkan, bagaimanakah manusia dapat atau harus mengaktualisasikan suatu nilai, apa implikasinya dalam hidup kalau seseorang menerima nilai itu dan apa arti sesuatu tindakan/sikap dalam konteks sosial tertentu. Dalam UU ini tidak dimungkinkan murid mengambil pendirian yang berbeda dengan lingkungannya; bahkan segala sesuatu dikehendaki supaya tetap seperti sediakala saja. Dengan demikian, perubahan nilai di kalangan generasi baru tidak akan terjadi apabila UU ini dilaksanakan. Memang perubahan sosial dapat merepotkan negara. Maka UU ini mau melanggengkan hegemoni negara atas hidup rakyat.
c. Nilai-nilai terbentuk dan berkembang dalam konteks sosial. Nilai-nilai itu harus dicermati, sebelum dan dengan ditawarkan, diajarkan dan dipelajari. Beberapa nilai mengacu kepada suatu kebutuhan, hak, dan kewajiban yang dipandang sebagai bersifat 'mutlak' dan 'berlaku di manapun' (mis. cintakasih, keadilan, kejujuran dsb): mereka itu mengungkapkan 'keharusan' pada taraf umum. Beberapa nilai mengacu kepada sejumlah bidang dalam hidup sosial (hak untuk bekerja, kesamaan antar jenis kelamin, kebebasan mengemukakan pendapat, sendiri-sendiri maupun secara kelembagaan dst): mereka itu harus dirumuskan dalam kaitan dengan konteks historis konkrit. Akhirnya ada juga nilai-nilai yang bisa disebut sebagai nilai terapan yang berwarna budaya tertentu dan memungkinkan kita untuk mengukur situasi konkrit yang khas bagi kelompok tertentu (mis. ketaatan kepada orangtua, kebebasan memilih jurusan studi dsb): pada tingkat perilaku sehari-hari, nilai-nilai ini sangat berpengaruh, tetapi juga sangat terjalin dengan faktor-faktor sosial tertentu. Oleh sebab itu, nilai-nilai itu sangat tergantung dari subyek-subyeknya, bisa didiskusikan dan terbuka untuk dikoreksi. UU Sisdiknas mengembalikan segala sesuatu pada rumusan keagamaan yang diberikan pada murid untuk dilompatkan langsung menjadi tindakan. Dengan demikian dihilangkan tahap pengolahan dari dogma agama menjadi prinsip moral, yang tidak begitu saja identik; dan dari moral menuju ke pemahaman praktis, yang juga tidak sama saja. Cara yang dipergunakan oleh UU Sisdiknas akan membuat pendidikan yang dogmatis dan tidak mencerdaskan murid. Murid akan dibuat tunduk saja pada negara dan atasan.
d. Interaksi terus menerus antara rumusan-rumusan mendasar dengan rumusan-rumusan pelaksanaan, yang mengacu pada situasi khusus dan bisa berubah, maupun kaitan tersamar antara 'nilai-nilai budaya' dengan 'hal-hal bernilai', menentukan sistem nilai, yang dapat saling berbeda dalam hal pemahaman maupun ungkapannya. Itulah bahaya yang disiapkan oleh UU Sisdiknas. Bahaya itu menjadi semakin kuat, karena penentu seluruh sistem diturunkan kepada Departemen Sisdiknas, sebagai bagian pemerintah yang akan menciptakan PP. Etatisme bukan omong kosong, tetapi sudah direncanakan dan sudah terlaksana. Padahal Nilai-nilai budaya pasti memainkan peranan dalam kita menilai sesuatu dan dalam terjadi maupun diterimanya nilai-nilai lain yang lebih 'praktis'. Artikulasinya menjadi suatu sistem nilai terjadi dengan melalui penataan prioritas maupun pertanggungjawaban teoretis mengenai pensisteman itu. Sistem nilai tidak dengan sendirinya memberi norma-norma aksi dalam setiap situasi konkrit, bahkan yang sangat khas sekalipun. Namun fungsinya adalah untuk menyediakan kerangka acuan etis yang terakhir bagi aplikasi konkritnya. Sifat 'tetapnya' memang menyebabkan orang sering sukar mempertanggungjawabkan sistem nilai dan sulit mengaplikasikannya; tetapi juga memungkinkan orang tidak terombang-ambing oleh tekanan situasi dan kondisi sesaat yang terus menerus berubah. Tetapi kalau orang per orang tidak didorong mengambil keputusan sendiri dan bila pemerintah mengambil segala keputusan seperti dikemukakan UU ini, maka masyarakat menjadi kumpulan robot-robot politis.
Kecuali itu, kompleksnya masa kini menyebabkan hidup manusia modern semakin lama semakin dikotak-kotakkan: dalam keruwetan pengkotakan itu nilai-nilai yang lebih praktis dan karena itu kena pada manusia setiap hari (mis. kerja, keluarga, sekolah, ekonomi, politik, praktek keagamaan), cenderung untuk menyatu dan membentuk suatu subsistem-nilai. Tetapi kumpulan aneka subsistem itu seringkali tidak berhasil menjadi satu sistem nilai yang terpadu dan konsisten. Kecuali itu, nilai-nilai dalam subsistem semacam itu hanya dapat berpadu dengan yang lain kalau memiliki sifat fungsional yang tinggi dan tidak senantiasa menuntut mutu etis yang tinggi sehingga sulit berpaduan dengan nilai atau subsistem-nilai yang lain. Tidak jarang, subsistem-nilai tertentu malah membekukan situasi kultural tertentu dan mengabadikan suatu struktur sosial yang tidak kompak.
e. Suatu pembinaan moral yang menekankan pendidikan nilai dengan menonjolkan pembentukan serta pengembangan budi pekerti haruslah mengajak murid untuk ‘menangkap implikasinya’ kalau kita mau mengintegrasikan nilai-nilai dasar manusiawi pada perilaku sesuai dengan situasi-situasi tertentu. Pada umumnya kita bersedia untuk menerima nilai-nilai yang bersifat abadi, tetapi sulit untuk menemukan cara konkrit melaksanakannya, apalagi menciptakan mekanisme keguruan yang sesuai. Kecuali itu, karena nilai-nilai itu biasanya diberikan dengan melalui perumusan intelektual dan juga komunikasi personal maupun program nonverbal, maka pencampuran indoktrinasi dengan persuasi maupun proses pembudayaan dan pengasingan sulit dihindari. Dapat terjadi bahwa kita, para pendidik merasa sudah menciptakan program yang hebat dan kelihatannya murid menangkap juga, namun belum pasti bahwa mereka benar mengasimilasikan nilai-nilainya. Unsur verbal bisa saja mereka menerima; tetapi tidak mustahil bahwa aspek nonverbal (cara kita memberi, iklim komunikasi dst) bisa membuat kontraproduktif segala upaya kita. Pendidikan nilai perlu membantu kita semua untuk semakin sadar, betapa nilai-nilai terapan itu bersifat sangat ambigu dan karena itu harus dikaji secara cermat terus (discernment) namun toh tidak membuat mereka itu skeptis atau frustrasi. Perlu dihindari bahwa atasan atau pemerintah bersikap "yang kami katakan selalu benar", seperti yang terdapat dalam UU Sisdiknas ini.
Oleh sebab itu perlulah diperhatikan hal-hal berikut:
1). UU Sisdiknas hanya dapat menjadi kerangka dasar pendidikan kita apabila membangun budi pekerti murid. Maka Yayasan, Kepala Sekolah, Tim Pimpinan, guru dan pemimpin murid serta seluruh murid perlu secara berkala mengkaji ulang semangat dasar, jiwa bersama, sistem nilai, cara penilaian dan mekanisme pemupukan suara-hati untuk mencapai derap bersama namun juga untuk bisa menerima sejumlah kemajemukan perwujudan semangat-terpadunya.
2). Nilai-nilai hanya bisa menjadi bahan-didik tertentu kalau orang bisa menemukan perwujudan manusiawi konkritnya. Maka seluruh badan-didik perlu bisa menemukan idealisme dalam manusia nyata. Dalam hal anak-anak: mereka harus menemukan ideal kemanusiaan pada diri guru; bila tidak, yang terjadi bukanlah interaksi didik melainkan pengajaran 'obyektif' saja. Oleh sebab itu UU Sisdiknas harus memperbaiki sikapnya terhadap para guru dan penyiapan guru.
3). Kita perlu peka terhadap sifat khas persekolahan dan usia sekolah. Sekolah memang mengkhususkan diri pada peningkatan intelektualitas (walau senantiasa difahami dalam konteks pendidikan menyeluruh). Anak berada dalam usia yang amat peka pada persuasi yang berlebihan atau konfrontasi sosial yang lebih mencemaskan daripada menantang secara positif. Relasi dengan pimpinan dapat menciptakan identifikasi positif tetapi juga dapat menimbulkan penolakan traumatis. Sekolah sebagai lembaga juga bisa atau terlalu dijajah oleh tuntutan negara, orangtua dan jemaat atau tidak mempedulikan harapan semua itu. Pembentukan suarahati hanya bisa jalan dengan baik kalau faktor-faktor itu mendapat perhatian secukupnya. Namun cara membagikan kekhasan itu terjadi sebagai lembaga: tidak hanya orang per orang. Hak yang dijamin UUD 1945 dan didukung oleh Maklumat Hak2 Azasi Manusia PBB itu perlu dijabarkan dalam UU.
4). Kekuasaan birokrasi, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, perlu ditempatkan dalam keseluruhan sistem kedaulatan rakyat; bukan di atas rakyat dan tidak di luar kontrol rakyat. Seperti semua aparat, mereka haruslah mengabdi rakyat: khususnya murid dan guru.
(B.S. Mardiatmadja. STF Driyarkara. Tel 021-70701943. Fax 021-4224866. email: besmar@indo.net.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar